1.
Genre Sastra Indonesia
Dalam perkembangan sastra di Indonesia sastra dibedakan
berdasarkan waktu kemunculnnya sehingga terdapatlah apa yang disebut dengan
sastra lama dan sastra baru. Sastra lama merujuk pada sastra lisan yang sudah
sejak lama mengakar pada masyarakat tutur Indonesia. Berdasarkan ragamnya
sastra lama dapat berupa puisi lama yang terbagi menjadi pantun, syair,
karmina, talibun, gurindam. Untuk kategori cerita naratif atau prosa sastra
jenis sastra lama yang dikenal antara lain dongeng, legenda, hikayat, myte.
Secara umum sastra lama dan sastra baru dapat dilihat perbedaannya dari
keteraturannya. Sastra lama ketat dan
taat pada aturan sedangkan sastra baru lebih bebas. Untuk memahami perbedaan
sastra lama dan sastra baru, perhatikan uraian di bawah ini.
Sastra lama adalah sastra yang berbentuk lisan atau
sastra Melayu yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan. Sastra lama masuk ke
Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam pada abad ke-13. Peninggalan
sastra lama terlihat pada dua bait syair pada batu nisan seorang muslim di
Minye Tujuh, Aceh. Ciri sastra lama
adalah sebagai berikut.
1.
Anonim atau tidak ada nama
pengarangnya.
2.
Istana sentris (terikat pada
kehidupan istana kerajaan).
3.
Tema karangan bersifat fantastis.
4.
Karangan berbentuk tradisional.
5.
Proses perkembangannya statis.
6.
Bahasa yang digunakan klise.
Sastra baru adalah karya sastra yang telah dipengaruhi
oleh karya sastra asing sehingga sudah tidak asli lagi.Ciri dari sastra baru
adalah sebagai berikut.
1.
Pengarang dikenal oleh masyarakat
luas.
2.
Bahasanya tidak klise.
3.
Proses perkembangan dinamis.
4.
Tema karangan bersifat rasional.
5.
Bersifat modern.
6.
Masyarakat sentris (berkutat pada
masalah kemasyarakatan).
Berdasarkan ragam atau genrenya sastra dapat dibedakan
ke dalam tiga bentuk yaitu: (1) prosa, (2) puisi, dan (3) drama. Ketiga ganre
sastra tersebut mempunyai ciri yang membedakan. Namun demikian, kadang ketiga
jenis tersebut tidak dapat dipisahkan secara mutlak sebab ada puisi yang
ditulis dengan gaya prosa yang disebut dengan puisi lirik, dan sebaliknya ada
prosa yang ditulis puitis. Oleh karena itu, ketiga genre sastra tersebut
kehadirannya dalam sebuah karya sangat dimungkinkan hadir bersamaan. Secara
sederhana untuk membedakan ketiga genre sastra tersebut dapat dibaca melalui
uraian berikut.
Puisi.
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan
pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa
baik struktur fisik maupun struktur batinnya. Ciri khas puisi yang
paling menonjol adalah tipografinya., Seketika bila kita melihat sebuah teks
yang lariklariknya tidak sampai ke tepi halaman kita mengandaikan teks tersebut
adalah puisi (Dick Hartoko, 1982: 175). Namun, demikan, untuk puisi terdapat
beberapa perbedaan antara puisi lama dan puisi baru. Puisi lama sendiri dibagi
menjadi beberapa jenis yang tiap-tiap jenisnya mempunyai ciri yang berbeda satu
sama lain.
Puisi Lama a. Pantun
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat
luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun
dalam bahasa Mingangkabau yang berarti "petuntun". Pantun terdiri atas empat larik (atau empat
baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak
dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun
pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang
tertulis. Ciri lain dari sebuah pantun adalah pantun tidak terdapat nama
penulis. Hal ini dikarenakan penyebaran pantun dilakukan secara lisan.Semua
bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampirandan isi. Sampiran adalah dua
baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris
masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua
yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak.
eringat badan tidak
sembahyang
Pantun sendiri masih berbagai macam jenisnya,
diantaranya: pantun adat, agama, budi, jenaka, kepahlawanan, kias, nasihat,
percintaan, peribahasa, perpisahan, dan teka teki.
b.
Seloka (Pantun Berkait)
Seloka adalah pantun berkait yang tidak cukup dengan satu
bait saja sebab pantun berkait merupakan jalinan atas beberapa bait.Seloka
mempunyai ciri: (1) Baris kedua dan keempat pada bait pertama dipakai sebagai
baris pertama dan ketiga bait kedua. (2) Baris kedua dan keempat pada bait
kedua dipakai sebagai baris pertama dan ketiga bait ketiga, dan seterusnya,
sedangkan aturan pembuatan pantunnya sama dengan aturan pantun yang sudah
disebutkan sebelumnya.
c.
Talibun
Talibun adalah pantun jumlah barisnya lebih dari empat
baris, tetapi harusgenap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya.Jika satu bait berisi
enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.Jika satu bait berisi delapan
baris, susunannya empat sampiran dan empat isi.Jadi, apabila enam baris
sajaknya a – b – c – a – b – c.Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b
– c – d – a – b – c – d.
d.
Pantun Kilat (Karmina)
Karmina mempunyai ciri-ciri: Setiap bait terdiri dari
dua baris, baris pertama merupakan
sampiran. Baris kedua merupakan isi. Bersajak a – a. Setiap baris terdiri dari
8 – 12 suku kata. Pada umumnya karmina digunakan untuk memberi sindiran secara
halus. Karmina juga dapat dibagi lagi sesuai dengan isinya sebagaimana
pantun.
e.
Mantra
Mantra adalah puisi tua yang keberadaannya dalam
masyarakat Melayu pada mulanya bukan sebagai karya sastra melainkan sebagai
adat dan kepercayaan. Mantra tidak memiliki aturan tertentu seperti halnya
dalam pantun. Hanya pada saat itu mantra dianggap mengandung kekuatan ghaib
yang diucapkan dalam waktu tertentu.
f.
Gurindam
Gurindam adalah puisi lama yang berasal dari Tamil
(India) yaitu kirindam yang berarti mula-mula, amsal, atau perumpamaan.
Gurindam mempunyai ciri: Sajak akhir berima a – a ; b – b; c – c dst. Sama
dengan ciri sastra lama lainnya gurindam berisinya nasihat yang cukup jelas
yakni menjelaskan atau menampilkan suatui sebab akibat.
g.
Syair
Syair merupakan salah satu jenis puisi lama. Kata "syair" berasal dari bahasa
Arab syu’ur yang berarti "perasaan". Kata syu’ur berkembang menjadi
kata syi’ru yang berarti "puisi" dalam pengertian umum. Syair dalam
kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum. Akan tetapi,
dalam perkembangannya syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi
sehingga syair didesain sesuai dengan keadaan dan situasi yang terjadi. Penyair
yang berperan besar dalam membentuk syair menjadi khas Melayu adalah Hamzah
Fansuri dengan berbagai karya syair yang ditulisnya, antara lain: Syair Perahu,
Syair Burung Pingai, Syair Dagang, dan Syair Sidang Fakir. Syair memiliki ciri:
Setiap bait terdiri atas empat baris. Setiap baris terdiri atas 8-12 suku kata.
Bersajak a-a-a-a. Isi tidak semua sampiran.
Puisi Baru
Puisi baru adalah pembaharuan dari puisi lama yang
mendapat pengaruh dari Barat. Dalam penyusunan puisi baru rima dan jumlah baris setiap bait tidak
terlalu dipentingkan. Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik
dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima. Nama pengarang puisi baru
sudah dicantumkan (Rizal, 2010:75).
Berdasarkan pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa puisi baru adalah bentuk puisi bebas
yang tidak begitu terikat pada aturan penulisan seperti puisi lama. Rizal (2010:75)
mengungkapkan, ciri-ciri puisi baru sebagai berikut.
1)
Bentuknya rapi, simetris.
2)
Mempunyai persajakan akhir (yang
teratur).
3)
Banyak mempergunakan pola sajak
pantun dan syair meskipun ada pola yang lain.
4)
Sebagian besar puisi berbentuk
empat seuntai.
5)
Tiap-tiap barisnya terdiri atas
sebuah gatra (kesatuan sintaksis)
6)
Tiap gatranya terdiri atas dua
kata (sebagian besar): 4-5 suku kata.
Jenis-jenis Puisi Baru
Damayanti (2013:78) mengungkapkan, jenis puisi baru
berdasarkan isinya dibedakan menjadi beberapa macam seperti berikut ini.
a.
Balada
Balada adalah puisi berisi kisah atau cerita suatu
riwayat. Balada menceritakan kehidupan orang biasa yang penuturannya
didramatisasi sehingga menyentuh.
b.
Himne
Himne adalah puisi yang bersifat transendental atau
berisi pujian untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan. Pada umumnya himne berisi
pujian atau keluh kesah yang ingin disampaikan kepada Tuhan.
c.
Ode
Ode adalah puisi yang berisi sanjungan untuk orang,
benda, atau peristiwa yang memuliakan. Biasanya, ode ditujukan kepada pahlawan
atau tokoh yang berpengaruh.
d.
Epigram
Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan atau ajaran
hidup, nilai-nilai kehidupan dan ajaran moral menjadi ciri khusus epigram
ini.
e.
Romance
Romance adalah puisi yang berisi tentang kisah-kisah
percintaan, romance pada umumnya lahir dari pengalaman pengarang tentang kisah
percintaan yang pernah dialaminya.
f.
Elegi
Elegi adalah puisi yang mengungkapkan kesedihan. Jenis
puisi ini lebih ditujukan untuk ekspresi perasaan aku-lirik sehingga puisi
lebih menekankan yang dirasakan aku lirik.
g.
Satire
Satire adalah puisi yang berisi sindiran atau kritikan
tajam terhadap keadaan masyarakat atau kehidupan sosial-budayanya. Sebenarnya
tak terbatas pada puisi saja, prosa dan drama juga bisa disebut satire jika
temanya melawan dan menyindir kondisi zaman.
Prosa
Istilah prosa menurut Nurgiyantoro (2013: 1) dapat
menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia mencakup berbagai karya tulis yang
ditulis dalam bentuk prosa, bukan puisi atau drama, tiap baris dimulai dari
margin kiri penuh sampai ke margin kanan. Bisa dikatakan prosa dalam pengertian
ini tidak hanya karya sastra, tetapi juga karya nonfiksi termasuk di dalamnya
penulisan berita dalam surat kabar. Prosa sebagai karya sastra sebagaimana
dijelaskan oleh Abrams via Nurgiyantoro (2013: 2) merujuk pada fiksi (fiction),
teks naratif atau wacana naratif (dalam pendekataan struktural dan semiotik).
Istilah fiksi ini diartikan sebagai cerita rekaan atau khayalan, tidak menyaran
pada kejadian faktual atau sesuatu yang benar-benar terjadi.
Fiksi merujuk pada prosa naratif yang dalam hal ini novel dan cerpen, bahkan
fiksi sendiri bisa jadi sering disebut sebagai novel. Novel sebagai sebuah
fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang
diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsurinstriksiknya
seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dll, yang kesemuanya bersifat imajinatif.
Prosa Lama
Merujuk kembali pada ciri-ciri sastra lama yang
dikemukakan dalam awal uraian materi ini, maka genre prosa juga memiliki produk
tersendiri pada sastra lama. Genre prosa yang dapat dikategorikan dalam sastra
lama antara lain sebagai berikut.
a.
Hikayat, yaitu prosa lama yang
berisikan kehidupan para dewa, pangeran, atau putri kerajaan, dan raja-raja
yang memiliki kekuatan gaib. Hikayat juga sering menceritkan kepahlawanan tokoh
yang ada di dalamnya. Hikayat berasal dari India dan Arab, terkadang tokohnya
merupakan tokoh sejarah. Beberapa hikayat yang terkenal antara lain: Hikayat
Hang Tuah, HIkayat Si Pahit Lidah, dan Hikayat Kuda Terbang.
b.
Dongeng, yaitu prosa lama yang
mengandung ajaran kebaikan.Dongeng biasanya ditujukan pada anak-anak. Biasanya
berisi tentang kebaikan melawan kejahatan. Cotoh: Malin Kundang, Timun Mas,
Candra Kirana.
c.
Mitos, cerita yang dipercaya turun
tumurun sebagai pegangan dalam menjalani hidup dan berperilaku. Mitos terkadang
juga dikaitkan dengan asal mula suatu silsilah suku tertentu. Ada juga yang
percaya bahwa tokoh yang berada dalam mitos benar-benar ada dan menjadi nenek moyangnya.
Contoh mitos adalah Nyi Roro Kidul, Cerita Rama-Sinta, Cerita Mahabaratha.
Mitos yang paling terkenal adalah Ken Arok dan Ken Dedes.
d.
Fabel, yaitu cerita yang tokohnya
binatang yang berperilaku seperti manusia. Fabel diciptakan untuk memudahkan pemahaman
anak-anak dalam menggambarkan perwatakan atau karakter tokohnya. Contoh: Cerita
Kancil, Cerita Kura-Kura dan Kelinci, Cerita Kera dan Ikan Mas.
e.
Legenda, yaitu prosa lama yang
menceritakan asal mula suatu tempat, benda peninggalan sejarah atau fenomena.
Contoh: Legenda Pulau Samosir, Legenda Candi Mendut, Legenda Tangkupan Perahu.
Prosa Baru
Pada proses perkembangannya prosa juga mengalami
perubahan meskipun unsur pembangunnya tidak jauh berbeda, hanya saja isi dan
tema prosa baru telah lebih berkembang. Beikut beberapa jenis prosa baru atau
prosa modern.
a.
Cerpen
Cerpen merupakan kependekan cerita pendek, yaitu cerita
yang mengambil momen penting dalam lakuan tokoh. Biasanya durasi cerpen tidak
panjang dan mebutuhkan lima sampai lima belas halaman. Ada juga cerpen yang
lebih dari lima belas halaman, tetapi itu tak banyak karena semakin panjang
cerpen, kepadatan dan momen yang ditangkap akan hilang. Beberapa cerpen yang
terkenal diantaranya. Robohnya Surau Kami dari A.A. Navis dan Sepotong Senja
untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma.
b.
Novel
Novel yaitu jenis prosa yang menceritakan masalah yang
dihadapi tokoh dalam lingkup hidupnya, tetapi tidak bercerita hingga sang tokoh
meninggal. Novel juga berusaha menangkap momen penting yang dilalui sang tokoh
utamanya, tetapi disampaikan dengan lebih rinci dan pengaluran yang lebih
renggang, tidak padat. Novel terkenal yang ada dalam sejarah sastra
diantaranya. Layar Terkembang karya Suatn Takdir Alisjahbana, Burung-Burung
Manyar karya YB Mangun Wijaya dan Saman karya Ayu Utami.
c.
Roman
Roman yaitu prosa yang bercerita dalam lingkup hidup
hingga sang tokoh meninggal. Biasanya tokoh yang diceritakan mengalami
perubahan nasib di akhir cerita. Roman juga terbagi menjadi beberapa jenis,
yaotu: roman sejarah, sosial,
bertendens, dan psikologis.
d.
Novelet
Novelet merupakan jenis prosa yang lebih panjang dari
cerpen tetapi terlalu pendek jika dikategorikan sebagai novel. Biasanaya novel
berkisar antara lima puluh hingga seratus halaman. Novelet banyak dijumpai
dalam karya-karya populer yang bersifat komedi. Karya-karya Hilman Hariwijaya
dapat dikategorikan dalam jenis ini sebagai contoh Lupus, Olga dan Sepatu Roda,
sedangkan untuk yang berkategori sastra yang dapat digolongkan ke dalam novelet
misalnya Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam.
Drama
Drama berasal dari bahasa Yunani yang berarti dialog
dalam bentuk prosa atau puisi dengan keterangan laku. Unsur-unsur terpenting
dalam drama untuk dapat dipentaskan adalah sebagai berikut.
1.
Naskah lakon, berguna untuk
menetapkan urutan adegan dan dialog yang ada dalam drama.
2.
Sutradara, yaitu orang yang mengatur dan mengonsep drama yang akan
dimainkan.
3.
Pemain yaitu orang yang memainkan
peran di panggung.
Drama di Indonesia berkembang pada masa drama tradisonal
dan modern. Sebelum drama moderen dikenal di Indonesia, drama tradisonal telah
lebih dahulu berkembang di tanah air. Drama tardisonal dipergunakan dengan
merujuk pada pakem-pakem yang berlaku dan dipertahankan secara turun menurun
sesuai dengan keasliannya. Setiap drama tradisional memiliki aturan atau pakem
yang berbeda seperti ludruk di Jawa Timur misalnya merupakan drama tradisional
yang mengutamakan humor dan komedi. Hingga kini ludruk pun tetap bertahan pada
aturan ini. Contoh bentuk drama trasdional lainnya adalah: Ketoprak dari Jawa
Tengah, Ubrug dari Banten, Longser dari Jawa Barat, Mamanda dari Kalimantan
Selatan, dan Lenong dari Betawi.
Dalam situasi bahasa tersebut terdapat dialog yang
terdiri atas unit-unit dialog., Unit-unit dialog tersebut disebut juga
"giliran bicara" yang akan diucapkan oleh tokoh. Sebuah dialog minimal terdiri atas dua
giliran bicara yang didukung sekurang-kurangnya oleh dua pelaku; bahan
pembicaraan tidak boleh berubah. Konvensi tersebut merupakan konvensi ideal.
Namun, bila konvensi yang ideal ini diganggu karena pelaku angkat bicara dengan
tidak teratur atau tidak membicarakan bahan yang sama mustahil akan terbentuk
"dialog" dan alur cerita yang dimaksudkan. Pelaku drama akan
berdialog dalam ruang dan waktu yang sama., Keadaan tersebut dalam drama
disebut dengan "latar" bagi sebuah dialog.
2. Apresiasi Sastra
Banyak ahli mengartikan apresiasi sebagai sebuah
penghargaan, untuk itu diperlukan sebuah penilaian untuk dapat
mengaparesiasi sastra. Menurut Sayuti
(2009) apresiasi sastra merupakan hasil usaha pembaca dalam mencari dan
menemukan nilai hakiki karya sastra melalui pemahaman dan penafsiran sistematik
yang dapat dinyatakan dalam bentuk tertulis. Untuk mengapresiasi sebuah karya
sastra, perlu dilakukan pengamatan,
penilaian, dan pemberian penghargaan terhadap karya sastra tersebut. Berikut
dijelaskan tahap-tahap untuk mengapresiasi sastra.
a.
Tahap mengenal dan menikmati yaitu
tindakan berupa membaca, melihat atau menonton,
dan mendengarkan suatu karya sastra.
b.
Tahap menghargai yaitu merasakan kegunaan
atau manfaat karya sastra, misalnya memberikan kesenangan, hiburan, kepuasan,
serta memperluas pandangan hidup.
c.
Tahap pemahaman yaitu berupa
melakukan tindakan meneliti serta menganalisis unsur-unsur yang membangun karya
sastra, baik unsur instrinsik maupun unsur ekstrinsik.
d.
Tahap penghayatan yaitu membuat
interpretasi atau penfasiran terhadap karya sastra.
e.
Tahap aplikasi atau penerapan
yaitu mewujudkan nilai-nilai yang diperoleh dalam karya sastra dalam kehidupan
sehari-hari.
Analisis Puisi
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan
pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik
dan struktur batinnya. Unsur
Intrinsik puisi, yaitu:
a.
Bunyi
Unsur bunyi merupakan salah satu unsur yang menonjol
untuk membedakan antara bahasa puisi dan bahasa prosa. Bahasa puisi cenderung
menggunakan unsur perulangan bunyi. Bunyi memiliki peran antara lain adalah
agar puisi terdengar merdu jika dibaca dan didengarkan, sebab pada hakikatnya
puisi merupakan salah satu karya seni yang diciptakan untuk didengarkan
(Sayuti, 2002).
b.
Diksi
Unsur diksi adalah pilihan kata atau frase
dalam karya sastra (Abrams, 1981). Setiap penyair akan memilih kata-kata yang
tepat, sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin
dicapai. Diksi merupakan pilihan kata yang tepat dan selaras dalam
penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu
seperti yang diharapkan (KBBI, 2005: 264). Diksi yang dipilih penyair bertujuan
menghadirkan efek kepuitisan, namun juga untuk mendapatkan nilai estetik.
c.
Bahasa Kias
Bahasa kias atau figurative language merupakan
penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa, yang makna katannya atau
rangkaian katannya digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu
(Abrams, 1981). Bahasa kias memiliki beberapa jenis yaitu: personifikasi,
metafora, perumpamaan, simile, metonimia, sinekdoki, dan alegori (Pradopo,
1978). Bahasa kias yang hadir dalam puisi diantaranya:
Perbandingan/ perumpamaan/simile; yaitu menyamakan satu hal dengan hal lain
dengan menggunakan kata perbandingan seperti: bagai, bak, seperti, seumpama,
laksana, sepantun, dan afiks se- lainnya yang menunjukkan perbandingan. Seperti
yang terdapat dalam petikan puisi di bawah ini.
Sahabat Sejatiku
Karya: Annisa Sekar Salsabila
Sahabat,
Kau bagai malaikat bagiku
Kau bagaikan bidadari untukku
Semua kebajikan ada padamu
Metafora yaitu bahasa kias seperti perbandingan tetapi
tidak menggunakan kata pembanding. Metafora ini melihat sesuatu dengan
perantara benda yang lain (Becker, 1978:317). Seperti puisi di bawah ini yang
memetaforkan kasih sayangnya sebagai jasa yang akan terbalas, hutang yang tidak
akan terbayar.
IBU
Karya: Agus Salim
Ibu ... kasih dan
sayangmu padaku adalah jasa yang tak akan terbalas adalah hutang yang tak akan
terbayar sungguh banyak yang telah aku terima
Darimu .... wahai ibu
Personifikasi, kiasan ini mempersamakan benda dengan
manusia, benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti
manusia. Personifikasi ini dipergunakan para penyair dari dahulu hingga
sekarang. Personifikasi ini membuat hidup lukisan, di samping itu memberi
kejelasan dan memberikan bayangan angan yang konkret. Seperti yang terdapat
dalam penggalan puisi karya Rustam Effendi berikut ini.
Anak Molek V
Malas dan malu nyala pelita
Seperti meratap mencuri mata
Seisi kamar berduka cita
Seperti takut, gentar berkata.
Metonimia adalah bahasa kiasan yang jarang dijumpai
pemakaiannya dalam puisi, apalagi puisi anak. Dalam bahasa Indonesia metonimia
seringkali disebut kiasan pengganti nama. Bahasa kias ini berupa penggunaan
sebuah atribut, objek, atau penggunaan sesuatu yang dekat berhubungan dengannya
untuk menggantikan objek tersebut. Contoh penggunaan metonimia dapat dilihat
dalam petikan puisi Toto Sudarto Bachtiar berikut ini.
Ibu Kota Senja
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
……
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Di bawah bayangan samar istana kajang
O, kota kekasih setelah senja
Klakson dan lonceng dapat menggantikan orang atau partai
politik yang sedang bersaing adu keras suaranya. Sungai kesayangan mengganti
Sungai Ciliwung. Istana mengganti kaum kaya yang memiliki rumah-rumah seperti
istana. Kota kekasih adalah Jakarta.
Sinekdok adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu
bagian penting, suatu benda untuk benda atau hal itu sendiri. Sinekdok dibagi
menjadi dua yaitu:
1.
Pars pro toto: sebagian untuk
keseluruhan
2.
Totem pro parte; keselurahan untuk
sebagian.
Sebagai contoh pars pro toto dapat dilihat dalam puisi
Toto Sudarto Bactiar berikut ini.
Ibu Kota Senja
Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja
....
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Sebagai contoh penggunaan totem pro parte dapat dilihat
dalam petikan puisi Sitor Situmorang berikut ini.
Kujelajah bumi dan alis kekasih.
Bumi totem pro parte, sedangkan alis kekasih pars pro
toto.
d.
Citraan/Imaji
Citraan merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa yang
mampu membangkitkan kesan yang konkret terhadap suatu objek, pemandangan, aksi,
tindakan, atau pernyataan yang dapat membedakannya dengan pernyataan atau
ekspositori yang abstrak dan biasanya ada kaitannya dengan simbolisme (Baldic,
via Nurgiyantoro, 2014:276). Unsur citraan
merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan melalui
kata-kata (Pradopo, 1978). Ada berbagai
macam jenis citraan diantarannya: citraan penglihatan (visual imagery),
citraanpendengaran (auditory imagery), citraan gerak (movement/kinestetik
imagery), citraan perabaan (tecticle/thermal imagery), citraan pengecapan
(tactile imagery), dan citraan penciuman (olfactory imagery).
e.
Makna
Setiap puisi pasti memiliki makna. Makna dapat
disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Makna puisi pada
umumnya berkaitan dengan pengalaman dan permasalahan yang dialami dalam
kehidupan manusia.
Analisis Prosa
Prosa, baik prosa lama maupun baru pada dasarnya
memiliki unsur-unsur pembangun yang sama. Unsur pembangun prosa atau unsur
intrinsik prosa adalah sebagai
berikut.
a.
Tema
Tema merupakan motif pengikat keseluruhan isi cerita.
Tema bersifat abstrak yang secara
berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara
implisit. Untuk menemukan tema karya fiksi haruslah disimpulkan dari keseluhan
cerita, dan walau sulit ditentukan secara pasti tema bukanlah makna yang
terlalu "disembunyikan".
b.
Plot/alur
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak
sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai
unsur fiksi yang lain. Untuk menyebut plot secara tradisional orang juga sering
menggunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori-teori yang
berkembang lebih kemudian dikenal adanya istilah struktur naratif.
Mursal Esten (2013) juga menyebutkan pembagian plot sebagai berikut.
1)
Situasi (mulai melukiskan
keadaan)
2)
Generating circumtances
(peristiwa-peristiwa mulai bergerak)
3)
Rising action (keadaan mulai
memuncak)
4)
Klimaks ( mencapai titik puncak)
5)
Denoument (pemecahan soal,
penyelesaian)
Selain pembedaan tersebut, plot juga dibedakan berdasarkan urutan waktu. Dilihat dari urutan
waktu dalam cerita plot dibedakan atas plot lurus atau progresif, plot sorot
balik (flash back), dan plot campuran.
c.
Tokoh dan Penokohan
Menurut Mursal Esten ada beberapa cara untuk menggambarkan
tokoh. Pertama secara analitik, yaitu pengarang menceritakan secara langsung
watak tokoh-tokohnya.
Kedua, secara dramatik
pengarang tidak langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokoh
ceritanya. Misalnya melalui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh,
bentuk-bentuk lahir (gambaran fisik, dsb) melalui percakapan, perbuatan sang
tokoh.
Melihat peran tokoh dalam pengembangan cerita
Nurgiyantoro (2013) menyebutkannya menjadi dua yaitu tokoh protagonis dan
antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mengejawantahkan nilai-nilai
ideal atau yang disebut sebagai tokoh baik, pahlawan. Tokoh yang menyebabkan konflik terutama
konflik dengan tokoh protagonis disebut sabagai tokoh antogonis. d. Latar
Latar merupakan pijakan cerita secara konkret dan jelas.
Hal ini penting untuk memberikan kesan cerita realistis kepada pembaca,
menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
Membaca sebuah fiksi kita akan bertemu dengan lokasi tertentu seperti nama
desa, jalan, hotel, penginapan, kamar, dan lain-lain tempat terjadinya
peritiwa. Di samping itu, kita juga akan berurusan dengan waktu seperti tahun, tanggal, pagi, siang,
malam, pukul, pada saat bunga sakura bermekaran, saat gerimis di awal bulan,
atau kejadian yang menyaran pada tipikal waktu tertentu.
e.
Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view merujuk pada cara
sebuah cerita dikisahkan. Dengan kata lain, sudut pandang merupakan strategi,
teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan
gagasan dan cerita. Menurut Nurgiyantoro (2013) sudut pandang cerita secara
garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam yaitu persona pertama, first
person, gaya “aku”, dan third person, gaya “dia”.
f.
Bahasa
Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa yang
mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa
nonsastra, khususnya bahasa ilmiah. Bahasa kiasan juga sering digunakan oleh
pengarang untuk menggambarkan rangkaian ceritanya. Di antara bahasa kias yang
sering muncul dalam prosa adalah hiperbola, personifikasi, dan
perbandingan.
g.
Moral/Amanat
Moral/amanat
merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca,
merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat
cerita. Secara umum moral/amanat merujuk pada pengertian (ajaran tentang) baik
buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya;
akhlak, budi pekerti, susila. Adanya unsur moral dalam sastra sering dikaitkan
dengan fungsi sastra bagi pembentukan karakter pembaca terutama pembaca anak
dalam konteks pembelajaran sastra.
Drama
Drama yang termasuk ke dalam cipta sastra adalah naskah
ceritanya. Drama sebagai cipta sastra mempertimbangkan akan kebutuhan-kebutuhan
dan kemungkinan bagi syarat-syarat teatrikal dan pementasan. Seorang penulis
drama tidak sebebas penulis cerita rekaan lain dalam mengungkapkan rangkaian
peristiwa dalam alur yang dibangunnya. Penulis drama harus
mempertimbangkan sisi pementasan.
Ciri formal (yang terlihat dari bentuk) drama ialah
adanya dialog. Dialog saling membantu
dengan gerak dalam membentuk dan mengungkapkan konflik
(pertentangan), baik konflik batin (dalam jiwa sendiri)
maupun konflik antartokoh.
Oleh karena itu, konflik pada hakikatnya merupakan
hakikat drama.
Alur sebuah drama hampir sama dengan alur cerita rekaan
yang terdiri atas hal-hal berikut.
a.
Pembaruan
awal/introduksi/eksposisi;
b.
Penggawatan (komplikasi)
c.
Klimaks;
d.
Antiklimaks;
e.
Penyelesaian.
Pementasan dan Sarana
Pendukung
Pentas : Teknik Penataan
dan Komposisi
Drama terutama drama modern tidak mungkin dapat terjadi
tanpa pentas. Komposisi pentas dapat diartikan sebagai penyusunan yang artistik
dan berdaya guna atas properti, perlengkapan, serta para pemain pada pentas
pertunjukan. Unsur lain dalam pementasan adalah kostum. Kostumadalah segala
sesuatu yang dikenakan atau terpaksa tidak dikenakan termasuk asesoris kepada
pemain untuk kepentingan pementasan.Tata riasdapat diidentikkan dengan make-up.
Namun dalam hubungannya dengan pementasan drama digunakan untuk membantu
menghidupkan karakter dalam pementas drama. Oleh karena itu, tata rias dalam
pementasan drama tidak dapat disamakan dengan tata rias pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar