Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini adalah tanda linguistik (signe) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2)komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Jadi, setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan makna. Keduanya merupakan unsur dalam bahasa (intralingual) yang merujuk pada halhal di luar bahasa (ekstralingual). Pada perkembangannya kemudian, kata semantik ini disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. (Abdul Chaer, 1995:2).
1. Makna Kata
Bahasa digunakan untuk berbagai keperluan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, makna bahasa akan dipandang
berbeda-beda sesuai dengan segi dan pandangan yang berbeda juga. Berikut akan
dibahas bermacam-macam makna bahasa tersebut.
a.
Makna Leksikal dan Gramatikal
Makna leksikal merupakan makna yang ada pada leksem
meski tanpa konteks apapun. Misalnya leksem rumah memiliki makna leksikal bangunan untuk tempat tinggal manusia.
Berdasarkan contoh tersebut dapat diartikan makna leksikal sebagai makna yang
bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapat
pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna
yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguhsungguh
nyata dalam kehidupan kita (Abdul Chaer, 2009: 60).
Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat
adanya proses gramatikal seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.
Proses afiksasi awalan ter- pada kata terangkat pada kalimat Batu seberat itu
terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ‘dapat’, sedangkan dalam kalimat
Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat, melahirkan makna gramatikal
‘tidak sengaja’.
Tabel 2 Contoh Makna Gramatikal dan Leksikal
Kata
|
Makna
|
Makna Gramatikal
|
Sepeda
|
kendaraan beroda dua atau tiga, mempunyai setang, tempat
duduk dan sepasang pengayuh yang digerakkan kaki untk menjalankannya; kereta
angin
|
bersepeda (ber + sepeda) = mempunyai
sepeda
sepeda-sepeda (perulangan) = banyak
sepeda
sepeda motor (pemajemukan) =
sepeda yang digerakkan mesin/motor
|
b.
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif adalah makna yang dikandung sebuah kata
secara objektif. Makna denotatif disebut juga maka konseptual, makna
denotasional, atau makna kognitif. Selain itu, makna denotatif juga sama dengan
makna referensial, karena makna denotasi ini lazim diberi penjelasan sebagai
makna yang sesuai dengan hasil menurut penglihatan, penciuman, pendengaran,
perasaan, atau pengalaman lainnya. Makna
denotatif disebut makna
denotasional karena makna
denotatif menyangkut
informasi-informasi faktual objektif. Oleh karena itulah, makna denotatif
sering juga disebut dengan makna sebenarnya. Misalnya: uang muka, persekot,
panjar sama artinya dengan ‘uang tanda jadi’
Perbedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada
ada atau tidaknya ‘nilai rasa’ pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang
disebut kata penuh mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu
mempunyai makna konotatif. (Abdul Chaer, 2009:65). Selanjutnya dijelaskan bahwa
sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ’nilai
rasa’, baik positif maupun negatif.
Makna konotatif merupakan makna yang ditimbulkan oleh
pendengar/pembaca dalam merespon suatu stimulus. Dalam responsi-responsi itu
terkandung nilai-nilai stimulus. Dalam responsi-responsi itu terkandung nilai-nilai
emosional dan evaluatif. Akibatnya, muncullah nilai rasa terhadap
penggunaan/pemakaian katakata itu.
Makna konotatif dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1)
Konotasi positif, yaitu konotasi
yang mengandung nilai rasa tinggi, baik, halus, sopan, menyenangkan, dan
sakral, contoh: jenazah.
2)
Konotasi negatif, yaitu konotasi
yang mengandung nilai rasa rendah, jelek, kasar, kotor, porno, dan berbahaya,
contoh: mayat, bangkai.
2. Pertalian Makna
Pertalian makna
atau hubungan makna adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan
bahasa (frase, klausa, kalimat) dengan kata atau satuan bahasa lainnya.
Hubungan ini dapat berupa kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna
(antonimi), kegandaan makna (polisemi), kelainan makna (homonimi), dan
ketercakupan makna (hiponimi).
a.
Sinonimi
Sinonimi adalah suatau istilah yang dapat dibatasi
sebagai, (1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama,
atau (2) keadaan di mana dua kata atau lebih memeiliki makna yang sama (Gorys
Keraf, 2010:34). Contoh kata meninggal, bersinonim dengan: wafat, gugur, mati,
dan tewas.
b.
Antonimi
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara
dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau
kontras antara yang satu dengan yang lain (Abdul Chaer, 2012: 299). Misalnya, kata buruk berantonim dengan kata
baik; kata mati berantonim dengan kata hidup; dan kata membeli berantonim
dengan kata menjual.
c.
Homonimi
Homonimi adalah relasi makna antarkata yang ditulis atau
dilafalkan sama tetapi maknanya berbeda. Kata-kata yang ditulis sama tetapi
maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi makna
berbeda disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu yang berarti
‘makanan’ yang berhomograf dengan kata tahu yang berarti ‘paham’ dan buku yang
berarti ‘kitab’ berhomograf dengan buku yang berarti ‘ruas’, sedangkan kata
masa yang berarti ‘waktu’ berhomofon dengan kata massa yang berarti ‘jumlah
besar yang menjadi satu kesatuan’.
Di dalam kamus, kata-kata yang termasuk homofon muncul
sebagai lema (entri) yang terpisah. Misalnya, kata tahu dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia muncul sebagai dua lema sebagai berikut ini.
1ta.hu (v) mengerti sesudah melihat
(menyaksikan, mengalami, dsb); 2ta.hu
(n) makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus dan dicetak.
Contoh lain
homonim yang homograf: Mental= terpelanting;
mental= batin, jiwa apel= nama buah; apel=upacara; apel= kencan
Contoh homonim yang homofon: bang = kakak;
bank = tempat atau lembaga ekonomi sangsi = ragu; sanski = hukuman
Contoh homonim yang homofon dan homograf:
bisa= dapat, mampu; bisa= racun kali=
sungai; kali= lipat
d. Polisemi
Istilah polisemi memiliki arti banyak makna.
Polisemi berkaitan dengan kata atau frasa yang memiliki beberapa makna yang
berhubungan. Hubungan antarmakna ini disebut polisemi. Di dalam penyusunan
kamus, seperti yang disebut di atas, kata-kata yang berhomonimi muncul sebagai
lema (entri yang terpisah), sedangkan kata yang berpolisemi muncul sebagai satu
lema namun dengan beberapa penjelasan. Misalnya, kata sumber dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia muncul sebagai satu lema, tetapi dengan beberapa penjelasan seperti
berikut.
Sum.ber (n) 1tempat
keluar (air atau zat cair); sumur; 2asal (dl berbagai arti)
Dilihat dari relasi gramatikalnya, ada dua jenis relasi
makna, yaitu relasi sintagmatik dan paradigmatik. Relasi makna sintagmatis
adalah relasi antarmakna kata dalam satu frasa atau kalimat (hubungan
horizontal). Sebagai contoh hubungan makna antara saya, membaca, dan buku dalam
kalimat Saya membaca buku. Di sisi lain, relasi paradigmatis adalah relasi
antarmakna kata yang menduduki gatra sintaktis yang sama dan dapat saling
menggantikan dalam satu konteks tertentu (hubungan vertikal). Hubungan tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut.
Saya membeli bunga ………………untuk hadiah ulang tahun ibu
saya.
Mawar, anggrek , aster, tulip
Relasi makna antara kata mawar, anggrek, aster, dan
tulip merupakan relasi paradigmatis.
3. Perubahan Makna
Perubahan makna dalam suatu bahasa sangat mungkin muncul
sesuai denganperkembangan pemikiran masyarakat dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Perubahan makna kata terjadi karena adanya perkembangan dalam ilmu
dan teknologi, perkembangan sosial
dan budaya, adanya
perbedaan bidang pemakaian,
adanya asosiasi makna, pertukaran tanggapan indera, adanya penyingkatan, akibat
terjadinya proses gramatikal, serta pengembangan istilah.
Jenis perubahan makna tersebut antara lain sebagai
berikut.
a. Meluas (Generalisasi)
Perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada
sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi
kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain (Abdul Chaer,
2009: 140).
Contoh pemakaian dalam kalimat.
a)
Saya mempunyai seorang saudara
(sekandung).
b)
Ia masih saudara saya di kampung
(sepertalian darah)
c)
Pesan singkat Saudara sudah saya
terima (orang yang sederajat)
d)
Kami mengumpulkan sumbangan untuk
saudara-saudara yang mengalami musibah gempa bumi di Sumatera Barat (kesamaan
asal-usul)
b.
Menyempit (Spesialisasi)
Perubahan makna menyempit adalah gejala pada sebuah kata
yang mulanya mempunyai cakupan makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi
terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata sarjana yang pada mulanya
berarti ’orang yang pandai’ atau ’cendekiawan’, kemudian hanya berarti ‘orang
yang lulus perguruan tinggi’
c.
Peninggian (Ameliorasi)
Peninggian atau ameliorasi yaitu kecenderungan untuk
menghaluskan atau meninggikan makna kataagar lebih halus atau lebih tinggi
maknanya dari kata yang digantikannya. Misalnya, kata pramuniaga untuk
menggantikan ungkapan penjaga toko, kata bui untuk menggantikan kata
penjara.
d.
Penurunan (Peyorasi)
Penurunan atau peyorasi
berasal dari bahasa Latin pejor, yang berarti jelek, buruk. Jadi,
penurunan makna atau peyorasi adalah perubahan makna kata lebih rendah/kasar
daripada makna semula. Dengan kata lain, makna dulu lebih rendah dari makna
sekarang. Penurunan ini biasanya
dilakukan orang dalam situasi tidak ramah, untuk menunjukkan kejengkelan, atau
melebihlebihkan. Misalnya, ungkapan masuk kotak dipakai untuk mengganti kata
kalah.
e.
Pertukaran (Sinestesia)
Sinestesia adalah perubahan makna yang terjadi akibat
pertukaran tanggapan dua indera yang berbeda.
Contoh:
a)
Setelah meraih gelar juara namanya
harumsekali. (pendengar-pencium)
b)
Perkataan Ani sungguh pedas.
(pendengar-perasa)
f.
Persamaan (Asosiasi)
Persamaan adalah makna kata yang timbul karena persamaan
sifat antara makna lama dengan makna baru. Makna baru yang timbul merupakan
makna kiasan. Contoh: kata kursi, makna lama tempat duduk, makna baru memiliki
makna jabatan/ kedudukan.
4. Idiom, Pameo, dan Peribahasa
Dalam berkomunikasi sehari-hari kita sering menyampaikan
gagasan, pikiran, dan pendapat menggunakan bahasa kias sehingga unsur-unsur
bahasa yang terdapat dalam kalimat tidak lagi ditafsirkan dengan makna
unsur-unsur yang membentuk kalimat itu. Pilihan kata yang ditafsirkan itu
terdapat dalam idiom, pameo, peribahasa, dan gaya bahasa. Gaya bahasa dibahas
pada bagian sastra.
Berikut ini kita akan membahas idiom, pameo, dan
peribahasa.
a.
Idiom
Idiom adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari
kaidah-secara bahasa yang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya
tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu
pada makna kata-kata yang membentuknya (Gorys Keraf, 2010: 109).
Contoh:
buah bibir
|
=
jadi pembicaraan
|
tinggi hati
|
= sombong
|
b.
Pameo
Pameo adalah gabungan kata yang mengandung dorongan
semangat yang biasanya dipakai untuk semboyan-semboyan. Selain itu, idiom juga
dipakai untuk menghidupkan suasana.
Contoh:
Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit.
Patah tumbuh hilang berganti.
c.
Peribahasa
Peribahasa adalah suatu kiasan bahasa yang
berupa kalimat atau kelompok kata yang bersifat padat, ringkas dan berisi
tentang norma, nilai, nasihat, perbandingan, perumpamaan, prinsip, dan aturan
tingkah laku. Susunan kata dalam peribahasa bersifat tetap dan tidak bisa
diubah.
Tabel 3Contoh Peribahasa dan Artinya
Peribahasa
|
Arti
|
Berjalan
sampai ke batas, berlayar sampai ke pulau.
|
Mengerjakan sesuatu harus sampai selesai.
|
Kalah
jadi abu menang jadi arang.
|
Sama-sama rugi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar